BAB I
PENDAHULUAN
1. A. Latar Belakang.
Hak Asasi Manusia (yang selanjutnya dalam makalah ini
disingkat HAM) berkembang dan dikenal oleh dunia hukum modern sekitar abad 17
dan 18 di Eropah. HAM tersebut semula dimaksudkan untuk melindungi individu
dari kekuasaan sewenang-wenang penguasa (raja). Namun dalam perkembangannya HAM
bukan lagi milik segelintir orang, melainkan hak semua orang (universal) tanpa
terkecuali. Atas dasar kesadaran itulah dilahirkan Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human
Rights (UDHR)) tahun 1948.
Dengan dituangkannya nilai-nilai HAM yang terkandung di
dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tersebut telah membawa konsep
tatanan dalam rezim-rezim baru yang terlibat dalam pembangunan institusi maupun
konstruksi demokrasi berpandangan bahwa pendidikan HAM merupakan sarana
penangkal yang tepat untuk mencegah kambuhnya kembali kecenderungan pelanggaran
HAM.[1]
Konsep HAM yang sebelumnya cendrung bersifat theologies,
filsafati, ideologis atau moralistik dengan kemajuan berbangsa dan bernegara
dalam konsep modern akan cendrung kesifat yuridis dan politik , karena instrumen
HAM dikembangkan sebagai bagian yang menyeluruh dan hukum internasional baik tertulis maupun tidak tertulis. Bentuknya bisa dalam wujud
deklarasi, konvensi, kovenan, resolusi maupun general comments. Instrumen-instrumen tersebut akan
membebankan kewajiban para negara-negara anggota PBB, sebagian mengikat secara
yuridis dan sebagian lagi kewajiban secara moral walaupun para negara anggota
belum melakukan ratifikasi secara formal.[2]
Di Indonesia, pemahaman HAM sebagai nilai, konsep dan norma
yang hidup dan berkembang di masyarakat dapat ditelusuri melalui studi
terhadap sejarah perkembangan HAM yang dimulai dari zaman pergerakan hingga sekarang,
yaitu ketika amandemen terhadap UUD 1945 yang secara eksplisit memuat
pasal-pasal HAM. Seperti halnya konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia
(Konstitusi RIS dan UUDS 1950), UUD 1945 amandemen juga memuat pasal-pasal
tentang HAM dalam kadar dan penekanan yang berbeda, disusun secara kontekstual
sejalan dengan suasana dan kondisi sosial dan politik pada saat penyusunannya.
Penyusunan muatan HAM dalam amandemen kedua UUD 1945 tidak terlepas dari
situasi sosial dan politik yang berkembang dan nuansa demokratisasi,
keterbukaan, pemajuan dan perlindungan HAM serta mewujudkan negara berdasarkan
hukum.[3]
Pengaturan HAM di Indonesia tidak hanya terbatas pada
konstitusi yakni Amandemen UUD 1945, melainkan diatur juga dalam peraturan
perundang-undangan sebagai peraturan pelaksana. Berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dalam Pasal 8 telah menentukan dalam pembentukan suatu
peraturan perundang-undangan didasari pada materi muatan mengenai HAM.
Sebagai salah satu syarat negara hukum yang demokrasi harus
ada jaminan HAM dalam konstitusi maupun dalam semua peraturan
perundang-undangan. Jaminan HAM dalam negara meliputi sistem hukum yang dianut
dan penerapannya melalui unsur-unsur dalam sistem hukum yang menurutLawrence Meir Friedman (1975,1998) terdapat tiga unsur dalam sistem hukum, yakni
Struktur (Structure), substansi (Substance) dan Kultur Hukum (Legal Culture).[4] Sebagai negara yang sebagian besar hukumnya dipengaruhi oleh
sistem hukum Cicil
Law Sistem atau sistem Eropa Kontinental yang
menghendaki hukum adalah peraturan-peraturan yang tertulis sedangkan
peraturan-peraturan yang tidak tertulis bukan dinyatakan hukum. Hal tersebut
bertujuan untuk menjamin pelaksanaan asas legalitas. Prinsip-prinsip HAM harus
termuat dalam peraturan perundang-undangan. Sehingga dalam proses penegakan
hukum akan meminimalisir terjadinya pelanggaran HAM oleh aparat penegak hukum
dan aparatur pemerintah.
1. B. Pokok Permasalahan.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penulis
akan membahas dalam makalah ini, yakni:
1. Bagaiamana Eksistensi Hak Asasi
Manusia dalam Sistem Hukum di Indonesia?
2.
Apa sajakah yang dapat mempengaruhi
Eksistensi Hak Asasi Manusia dalam Sistem Hukum di Indonesia?
3. C. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan makalah ini
adalah studi pustaka yang dilakukan dengan mengumpulkan dan menghimpun data
serta mengkaji berbagai sumber data yang berkaitan dengan pokok permasalahan
serta menggunakan metode penelitian normatif dengan melakukan penelitian terhadap
sejarah hukum melalui pendekatan sejarah, yakni Eksistensi HAM dalam sistem
hukum di Indonesia yang diawali dari sebelum kemerdekaan, orde lama, orde baru
dan Reformasi.
1. D. Kerangka Konseptual
Sebagai pembatasan dari pengertian istilah-istilah yang
dipakai dalam judul makalah ini, penulis akan mencoba menjelaskan pengertian
dari istilah-istilah tersebut:
1. Eksistensi
Menurut Prof. Dr. Sukamto Satoto, SH, MH, sampai saat kini
tidak ada satupun tulisan ilmiah bidang hukum, baik berupa buku, disertasi maupun
karya ilmiah lainnya yang membahas secara khusus pengertian eksistensi.
Pengertian eksistensi selalu dihubungkan dengan kedudukan dan fungsi hukum atau
fungsi suatu lembaga hukum tertentu.[5] Sjachran Basah mengemukakan penegrtian eksistensi
dihubungkan dengan kedudukan, fungsi, kekuasaan atau wewenang pengadilan dalam
lingkungan bada peradilan administrasi di Indonesia.[6]
Dari dua pengertian tersebut, maka dalam makalah ini
eksistensi diartikan sebagai keberadaan atau kedudukan hak asasi manusia dalam
sistem hukum di Indonesia.
1. Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia tidak hanya berkaitan dengan proteksi bagi
individu dalam menghadapi pelaksanaan otoritas negara atau pemerintah dalam
bidang-bidang tertentu kehidupan mereka, tetapi juga mengarah kepada penciptaan
kondisi masyarakat oleh negara dalam mana individu dapat mengembangkan potensi
mereka sepenuhnya.[7]
1. Sistem Hukum
Menurut Shorde dan Voich, sistem mempunyai dua pengertian,
yang pertama adalah pengertian sistem sebagai jenis satuan yang mempunyai
tatanan tertentu. Tatanan tertentu di sini menunjuk kepada suatu struktur yang
tersusun dari bagian-bagian. Kedua, sistem sebagai suatu rencana, metoda atau
prosedur untuk mengerjakan sesuatu.[8]
Hukum sebagai ilmu pengetahuan
merupakan satu sistem. Peraturan-peraturan hukum yang berdiri sendiri-sendiri diikat
dalam satu susunan kesatuan yang disebabkan mereka itu bersumber pada satu
induk penilaian etis tertentu.[9] Pendapat lain yang menyatakan bahwa hukum merupakan suatu
sistem dinyatakan oleh Dias R.W.M, yaitu:
Pertama, suatu sistem hukum itu bisa disebut demikian karena
ia bukan sekedar merupakan kumpulan-kumpulan peraturan belaka. Kaitan yang
mempersatukannya sehingga tercipta pola kesatuan yang demikian itu adalah
masalah keabsahannya. Peraturan-peraturan itu diterima sebagai sah apabila
dikeluarkan dari sumber atau sumber-sumber yang sama, seperti peraturan hukum,
yurisprudensi dan kebiasaan. Sumber-sumber yang demikian itu dengan sendirinya
melibatkan kelembagaan seperti pengadilan dan pembuat undang-undang. Ikatan
sistem itu tercipta pula melalui praktek penerapan peraturan-peraturan hukum
itu. Praktek ini menjamin terciptanya susunan kesatuan dari peraturan-peraturan
tersebut dalam dimensi waktu. Sarana-sarana yang dipakai untuk menjalankan
praktek itu, seperti penafsiran atau pola-pola penafsiran yang seragam
menyebabkan terciptanya ikatan sistem itu.[10]
BAB II
PEMBAHASAN
1. A. Sejarah Pengaturan HAM di
Indonesia
Pembicaraan mengenai HAM , pada awalnya dikenal di dunia
Barat. Dimulai dari abad XVII yang merupakan tonggak dikonsepkannya hak asasi
manusia yang bersumber dari hak kodrat yang mengalir dari hukum kodrat
dengan hak politik. Pada abad XVIII Hak-hak kodrat dirasionalkan dalam
kontrak sosial dan mulai dipikirkan tentang kebebasan sipil individualisme
kuantitatif. Pada abad XIX pemikiran berkembang dengan dukungan etik dan
utilitarian dan munculnya paham sosialisme serta hak-hak partisipasi
individualisme kualitatif . Pada abad XX berkembang adanya konversi hak-hak
asasi manusia yang sifatnya kodrat menjadi hak-hak hukum (positif) dan hak-hak
sosial (sosiale
grondrechten). Pada masa ini munculnya Piagam
PBB.[11]
Sebagai salah satu negara anggota PBB, mewajibkan Indonesia
melakukan ratifikasi instrumen HAM Internasional sesuai dengan falsafah
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta kebudayaan bangsa Indonesia.
Pengaturan HAM dalam UUD 1945 sebelum amandemen belum tercantum secara
transparan. Setelah dilakukannya amandemen I sampai dengan amandemen IV
UUD 1945, ketentuan tentang HAM tercantum dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal
28J.[12]
HAM bukanlah wacana yang asing dalam diskursus politik dan
ketatanegaraan di Indonesia. Pembahasan mengenai HAM dalam ketatanegaraan
Indonesia yang ditandai dengan perdebatan yang sangat intensif dalam tiga
periode sejarah ketatanegaraan, yaitu mulai dari tahun 1945, sebagai periode
awal perdebatan HAM, diikuti dengan periode Konstituante (tahun 1957-1959) dan
periode awal bangkitnya Orde Baru (tahun 1966-1968). Dalam ketiga periode
inilah perjuangan untuk menjadikan HAM sebagai sentral dari kehidupan berbangsa
dan bernegara berlangsung dengan sangat serius. Meski demikian pada
periode-periode emas tersebut wacana HAM gagal dituangkan ke dalam hukum dasar
negara atau konstitusi.
Perkembangan demokrasi dan HAM pada era orde baru belum
berjalan dengan baik. Meski demikian terdapat beberapa peraturan yang menyangkut
tentang HAM yang lahir pada masa orde baru. Hal tersebut lebih disebabkan
faktor keanggotan Indonesia sebagai anggota PBB, penghormatan terhadap Piagam
PBB dan Deklarasi Universal HAM serta untuk perlindungan, pemajuan, penegakan
dan pemenuhan HAM sesuai dengan prinsip-prinsip kebudayaan bangsa Indonesia,
Pancasila dan Negara berdasarkan atas Hukum telah menetapkan:[13]
1.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984
Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Wanita,
2.
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun
1990 Tentang Pengesahan Hak-Hak Anak,
3.
Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun
1993 Tentang Komisi Nasional HAM.
Upaya memasukan HAM dalam konstitusi yang selalu gagal lebih
disebabkan oleh kepentingan politik penguasa pada era orde baru. Upaya lain
yang ditempuh yakni berbagai pihak melengkapi UUD 1945 yang berkaitan dengan
HAM melalui MPR dalam sidang-sidang awal orde baru telah menyusun Piagam
Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak serta kewajiban Warga Negara. Piagam tersebut
pada akhirnya juga tidak diberlakukan karena kepentingan politik dan
beranggapan bahwa masalah HAM telah diatur dalam berbagai peraturan perundnag-undangan.
Untuk menghapus kekecewaan pada kepada bangsa Indonesia terhadap piagam HAM,
maka MPR pada sidang Istimewanya pada tanggal 11 Nopember 1998 mensahkan
ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 yang menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi
Negara dan seluruh Apratur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan
menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada seluruh masyarakat.[14] Ketetapan ini juga menegaskan kepada Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat untuk meratifikasi berbagai instrumen PBB tentang HAM,
sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.[15]
Pada tanggal 15 Agustus 1998
Presiden B.J. Habibie telah menetapkan berlakunya Keppres Nomor 129 Tahun 1998
tentang Rencana Aksi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia Indonesia 1998-2003 atau
yang disebut RAN HAM. Dalam Keppres tersebut ditegaskan bahwa RAN HAM akan
dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan dalam program 5 (lima)
tahunan yang akan ditinjau dan disempurnakan setiap 5 (lima) tahun.[16]
Perkembangan-perkembangan yang
terjadi begitu cepat dalam lingkup domestik maupun Internasional dan
kehadiran Kementrian Negara Urusan Hak Asasi Manusia pada Kabinet Persatuan
Nasional (yang kemudian digabungkan dengan Depatemen Hukum dan
Perundang-undangan menjadi Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia) membuat
RAN HAM harus disesuaikan.[17]
Sebagai tindak lanjut dari Keppres
Nomor 129 Tahun 1998 maka ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 yang
merupakan penetapan dari pengesahan Convention Against Torture
and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merndahkan
Martabat Manusia)[18]
Pada tanggal 23 September 1999 diberlakukan Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (yang selanjutnya dalam makalah
ini disingkat UU HAM) yang berlandaskan pada Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998.
Selain diatur mengenai Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia, dalam UU
HAM juga diatur beberapa hal yang berkaitan dengan Kewajiban Dasar Manusia.[19]
Pada tanggal 8 Oktober 1999 Pemerintah membentuk Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1999 Tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia. Keluarnya Perpu tersebut didasarkan pada
pertimbangan untuk menjaga agar pelaksanaan HAM sesuai dengan harkat dan
martabat manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan dan perasaan
aman bagi perorangan maupun masyarakat maka perlu diambil tindakan atas
pelanggaran terhadap HAM yang.[20]
Pemberlakukan Perpu Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia tidak berlangsung lama. Hal ini disebabkan penolakan
DPR terhadap Perpu atas saran Pemerintah melalui Menteri Kehakiman dan
HAM. Meski Perpu ditolak DPR, Perpu tersebut tetap dinyatakan berlaku dengan
alasan untuk mengisi kekosongan hukum. Pencabutan terhadap Perpu akhirnya
dilakukan pada tanggal 23 November 2000 oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, khususnya dalam Pasal 50.[21]
1. B. Eksistensi HAM dalam Sistem
Hukum di Indonesia
Membahas mengenai sistem hukum
Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sistem hukum yang berlaku di dunia.
Terdapat beberapa sistem hukum di dunia yang mempengaruhi sistem hukum
Indonesia, diantaranya civil law system, Common Law Sistem dan Religion Law Sistem atau Sistem Hukum Islam. Terlepas
dari sistem hukum yang dianut dalam negara Indonesa, hal yang terpenting dalam
pengaturan HAM di Indonesia adalah kemauan politik pemerintah.
Konsep HAM yang pada hakikatnya juga konsep tertib dunia
akan menjadi cepat dicapai kalau diawali dari tertib politik dalam setiap
negara. Artinya kemauan politik pemerintah, antara lain berisi tekad dan
kemauan untuk menegakkan HAM dapat menjadi masalah. Ketika hal ini menjadi
bagian dari kemauan pemerintah internal, benturan dalam masyarakat bisa saja
terjadi, khususnya antara suprastruktur dan infrastruktur. Konflik terjadi
sebagai akibat adanya perbedaan titik tekan prioritas. Kalau prioritas
ditekankan kepada stabilitas dengan alasan memperkuat lebih dahulu basis
ekonomi, pemberian HAM dapat dinomor duakan. Sistem politik sentralistik yang
menerapkan sistem ini. Sebaliknya, sistem politik demokrasi dapat memberikan
kebebasan dan menjamin Hak Asasi. Ketentraman dan kepuasan batin warga menjadi
prioritas utama. Aturan hukum yang diciptakan cukup akomodatif.[22]
Untuk mengamati kedudukan HAM dalam
sistem hukum di Indonesia diperlukan analisa terhadap unsur dalam sistem hukum
itu sendiri. Menurut Lawrence Meir Friedman (1975,1998) terdapat tiga unsur dalam
sistem hukum, yakni Struktur (Structure), substansi (Substance) dan Kultur Hukum (Legal Culture).[23] Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui eksistensi HAM
dalam sistem hukum Indonesia selain pada tataran konsep juga dalam tataran
praktek.
1. Substansi Hukum (Legal Substance)
Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang
yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan,
aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living law), bukan hanya aturan yang ada dalam
kitab undang-undang (law books).[24] Idealnya tatanan hukum nasional mengarah pada penciptaan
sebuah tatanan hukum nasional yang bisa menjamin penyelenggaraan negara dan
relasi antara warga negara, pemerintah dan dunia internasional secara baik.
Tujuan politik hukum yaitu menciptakan sebuah sistem hukum nasional yang
rasional, transparan, demokratis, otonom dan responsif terhadap perkembangan
aspirasi dan ekspektasi masyarakat, bukan sebuah sistem hukum yang bersifat
menindas, ortodoks dan reduksionistik.[25]
Substansi hukum berkaitan dengan proses pembuatan suatu
produk hukum yang dilakukan oleh pembuat undang-undang. Nilai-nilai yang berpotensi
menimbulkan gejala hukum dimasyarakat dirumuskan dalam suatu peraturan
perundang-undangan. Sedangkan pembuatan suatu produk perundang-undangan
dipengaruhi oleh suasana politik dalam suatu negara.
Dalam kaitannya dengan HAM, negara Indonesia merupakan salah
satu negara di dunia yang menghormati dan menjunjung tinggi HAM. Hal tersebut
dapat ditelusuri dalam Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang terdiri
atas lima sila, ditambah dengan Pembukaan UUD 1945 dalam alinea pertama yang
menyatakan: Kemerdekaan ialah hak segala bangsa serta penjajahan harus
dihapuskan. Serta dalam alinea kedua yang menyatakan: Kemerdekaan negara
menghantarkan rakyat merdeka, bersatu, adil dan makmur.
Pemasukan unsur-unsur HAM dalam peraturan perundang-undangan
telah disadari oleh para pendiri negara Indonesia sebagai sesuatu yang wajib
ada dalam negara yang berasaskan demokrasi. Dalam tataran makro, HAM telah
digariskan dalam Pembukaan UUD 1945. Kemudian diformalkan dalam bentuk
peraturan perundang-udangan oleh lembaga politik/DPR dan
dioperasionalkan/dilaksanakan oleh pejabat/aparat negara dalam bentuk peraturan
pemerintah/peraturan lainnya sebagai pegangan para pejabat.[26]
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, konsep HAM yang berlaku
secara universal melalui hukum Internasional membebankan kepada Indonesia
sebagai salah satu anggota PBB untuk meratifikasi kedalam peraturan
perundang-undangan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945. Salah satu contoh adalah Konvenan Internasional Hak-Hak Sipol (International Covenan on Civil and
Political Rights) yang dalam makalah ini disingkat
ICCPR.
ICCPR dapat diklasifikasikan dalam
dua bagian yakni:[27]
1. Non Derogable
Non Derogable adalah Hak-hak yang bersifat absolut
yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara-negara pihak, walaupun
dalam keadaan darurat sekalipun. Hak yang termasuk jenis ini, yakni: Hak atas
hidup, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari perbudakan, hak bebas dari
penahanan karena gagal dari memenuhi perjanjian (seperti: hak bebas dari
pemidanaan yang berlaku surut, hak sebagai subyek hukum, hak atas kebebasan
berfikir, keyakinan dan agama). Pelanggaran terhadap hak jenis ini akan
mendapatkan kecaman sebagai pelanggaran serius HAM (Gross Violation of Human Rights).
1. Derogable
Derogable adalah hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi
pemenuhannya oleh negara-negara pihak. Termasuk dalam jenis hak ini yakni: hak
atas kebebasan berkumpul secara damai, hak atas kebebasan berserikat termasuk
membentuk dan menjadi anggota serikat buruh, hak atas kebebasan menyatakan pendapat
atau berekspresi termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi
dan segala macam gagasan (lisan-tulisan). Negara-negara pihak diperbolehkan
mengurangi atas kewajiban dalam memebuhi hak-hak tersebut. Akan tetapi
pengurangan hanya dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman yang
dihadapi dan tidak diskriminatif, yaitu demi menjaga keamanan nasional,
ketertiban umum, menghormati hak atau kebebasan orang lain.
Di Indonesia, selain UUD 1945,
keberadaan hak-hak sipil yang sesuai dengan Konvenan Sipil dan politik termuat
dalam banyak peraturan perundang-undangan. Meskipun demikian secara material,
peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibedakan atas:
1.
Peraturan perundang-undangan yang
khusus mengenai hukum HAM, seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia.
2.
Peraturan perundang-undangan lainya
yang didalamnya memuat ketentuan yang berkaitan dengan HAM, baik secara
eksplisit (tersurat) maupun implisit (tersirat).
Masih terdapatnya peraturan perundang-undangan diluar
peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai HAM yang
bertentangan dengan HAM. Sehingga perlu melakukan inventarisasi, mengevaluasi
dan mengkaji seluruh produk hukum, KUHP dan KUHAP, yang berlaku yang tidak
sesuai dengan HAM. Banyak sekali pasal-pasal dalam berbagai Undang-Undang yang
tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan HAM. Termasuk beberapa Undang-Undang
yang dihasilkan dalam era reformasi. Hal ini sebagai konsekuensi dari karakter
rejim sebelumnya yang memang anti HAM, sehingga dengan sendirinya produk
perundang-undangan kurang atau sama sekali tidak mempertimbangan masalah HAM.
Dalam konteks ini, maka agenda tersebut sejalan dan dapat disatukan dengan
agenda reformasi hukum nasional dan ratifikasi konvensi/kovenan, internasional
tentang HAM yang paling mendasar seperti kovenan sipil-politik dan kovenan hak
ekonomi, sosial dan budaya berikut peraturan pelaksanaanya.
1. Struktur Hukum (Legal Structure)
Struktur adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap
bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan secara keseluruhan.[28] Struktur hukum merupakan institusionalisasi kedalam beradaan
hukum. Struktur hukum disini meliputi lembaga negara penegak hukum seperti
Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, Advokat dan lembaga penegak hukum yang
secara khusus diatur oleh undang-undang seperti KPK. Kewenangan lembaga penegak
hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan
pengaruh-pengaruh lain.
Termasuk dalam struktur hukum yakni hirarki peradilan umum
di Indonesia dan unsur struktur yang meliputi jumlah dan jenis pengadilan,
yurisdiksinya, jumlah hakim agung dan hakim lainnya.
Dalam tataran hukum normatif, dengan amandemen, UUD 1945
sebenarnya sudah dapat dijadikan sebagai dasar untuk memperkokoh upaya-upaya
peningkatan perlindungan HAM. Tetapi dengan adanya undang-undang tentang HAM
dan peradilan HAM, secara institusional maupun hukum materil (hukum positif),
menjadikan perangkat organik untuk menegakkan hukum dalam kerangka perlindungan
HAM atau sebaliknya penegakan supremasi hukum dalam rangka perlindungan HAM
menjadi kuat.
Adanya Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) dan peradilan HAM
patut dicatat sebagai perangkat kelembagaan dasar peningkatan upaya
penghormatan dan perlindungan HAM dengan peningkatan kelembagaan yang dapat
dikaitkan langsung dengan upaya penegakan hukum. Pada tataran implementasi,
memang masih banyak kelemahan dari kedua lembaga tersebut, akan tetapi dengan
adannya Komnas HAM dan peradilan HAM dengan sendirinya upaya-upaya peningkatan
penghormatan dan perlindungan HAM ini memiliki dua pijakan penting, yaitu
pijakan normatif berupa konstitusi dengan UU organiknya serta Komnas HAM dan
peradilan HAM yang memungkinkan berbagai pelanggaran HAM dapat diproses sampai
di pengadilan.
Perlindungan HAM dapat diletakkan dalam kerangka supremasi
hukum karena telah memperoleh pijakan legal, konstitusional dan institusional
dengan dibentuknya kelembagaan yang berkaitan dengan HAM dan hukum.
Pengembangan kapasitas kelembagaan pada instansi-instansi peradilan dan instansi
lainnya yang terkait dengan penegakan supremasi hukum dan perlindungan HAM.
Prioritas utama dalam penegakan hukum HAM yakni dengan
meningkatkan kapasitas hakim, jaksa, polisi, panitera dan unsur-unsur
pendukungnya dalam memahami dan menangani perkara-perkara hukum yang berkaitan
dengan HAM. Termasuk didalamnya mengenai administrasi dan pelaksanaan
penanganan perkara-perkara hukum mengenai pelanggaran HAM.
Permasalah HAM baru masuk secara resmi dalam sistem
peradilan kita semenjak bergulirnya reformasi. Sehingga dapat dilihat masih
banyak, aparat penegak hukum kita yang tidak memahami persoalan HAM. Terlebih
lagi untuk menangani perkara hukum di peradilan yang pembuktiannya amat pelik
dan harus memenuhi standar Komisi HAM PBB. Oleh sebab itu institutional capacity
building di instansi-instansi Negara yang
terkait dengan masalah HAM ini menjadi amat penting dan mendesak.[29]
1. Kultur Hukum (Legal Culture)
Kultur hukum menurut Lawrence Meir Friedman (2001:8) adalah
sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran,
serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan
sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau
disalahgunakan.[30]
Dalam konteks HAM, peran serat masyarakat sangatlah penting.
Dilihat dari sejarah, adat kebiasaan, hukum, tata pergaulan dan pola bangsa
Indonesia pada umumnya terdapat indikasi yang cukup kuat bahwa bangsa Indonesia
telah memiliki dan mengenal ide yang berkaitan dengan HAM. Bukti empiris yaitu
adanya ungkapan-ungkapan yang sudah dikenal sejak nenek moyang, seperti istilah rembug desa, adat pusako jo koto, mufakat, gotong royong, tut wuri handayani, kabukit samo mendaki ka
lurah samo menurun, musyawarah, dan lain-lain.[31]
Proses perkembangan masyarakat Indonesia telah mempertemukan
asas hukum adat dengan sistem hukum bangsa/budaya asing secara terus menerus,
sehingga terjadi interaksi dan saling mengisi, mengakibatkan adanya perpaduan/perubahan/pergeseran.
Istitusi hukum akan semakin kuat jika ideologi politik demokrasi menyatu, dalam
arti dilaksanakan dengan penuh disiplin dan tanggung jawab, sehingga rasa
keadilan dapat terwujud dalam masyarakat.[32]
Diakuinya eksistensi HAM dalam sistem hukum di Indonesia
tidak terlepas dari pengaruh dan pergaulan Internasional. Terlepas dari
pelaksanaan penegakan hukum HAM oleh aparat negara, secara konsep HAM telah
tertuang dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan baik eksplisit
(tersurat) maupun implisit (tersirat) yang tujuan utamanya memberikan
perlindungan hukum terhadap warga negara terhadap tindakan kesewenangan yang
dilakukan penguasa maupun pihak mayoritas.
1. C. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
EKSISTENSI HAM DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA.
Sebagaimana telah dijelaskan dimuka bahwa perkembangan HAM
di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Pasang surut HAM yang dialami bangsa ini yang dimulai sejak
era kemerdekaan (1945) hingga sekarang, telah mengalami banyak kemajuan.
Bergulirnya reformasi (1998) dijadikan tonggak awal bangkitnya HAM di
Indonesia, terlepas dari penyelesaian kasus HAM yang belum maksimal.
Pembentukan negara adalah manifestasi keinginan untuk
melindungi HAM. Sebagaimana telah dijabarkan dalam konstitusi bahwa negara
memperoleh kekuasaan dari warga negara sebagai pemegang kedaulatan semata-mata
untuk memenuhi dan melindungi hak asasi warga negara. Dengan demikian negara
kemudian dipresentasikan oleh aparatur negara memiliki kewenangan sebagai
pemberian jaminan perlindungan dan penghormatan HAM sebagai bagian hak
konstitusi warga negara. Akan tetapi, alasan melindungi hak asasi, negara
justru sebaliknya, seringkali mengabaikan hak-hak itu dan bahkan melanggar HAM.
Pasang surutnya HAM dalam sistem hukum di Indonesia lebih
disebabkan oleh faktor sosial budaya, tendensi politik dan berbagai kepentingan
individu serta kelompok yang terlalu dominan dalam terciptanya HAM di
Indonesia. Dari beberapa faktor tersebut tendensi politik rezim yang berkuasa
menempati posisi yang penting. Tendensi politik sangat menentukan pengakuan HAM
yang diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan dan pelaksanaan dilapangan.
Tendensi politik penguasa yang diformulasikan sedemikian
rupa sehingga menjadi kehendak negara. Apabila sudah menjadi kehendak negara
maka akan dengan mudah penguasa melalui kekuasaan yang dimilikinya membelokan
kepentingan masyarakat dan menggantikannya dengan kepentingan penguasa.
Relasi yang sangat erat antara produk hukum sebagai proses
politik hukum dengan kepentingan politik dalam penyusunan undang-undang di DPR.
DPR yang terdiri dari beragam partai politik yang masing-masing memiliki agenda
politik tertentu, yang dalam banyak proses penyusunan undang-undang digunakan
sebagai kerangka berpikir dalam meloloskan suatu undang-undang. Bila
undang-undang yang diajukan pemerintah tidak menguntungkan bagi mereka, mereka
berupaya agar undang-undang itu diubah atau tidak diloloskan, demikian juga
sebaliknya.[33]
Kepentingan politik penguasa dalam pembentukan suatu produk
perundang-undangan terjadi hampir setiap rezim/era yang berkuasa di Indonesia.
Kepentingan politik ini juga terjadi pada penyusunan peraturan
perundang-undangan mengenai HAM. Secara sepintas penulis akan mencoba
memaparkan kondisi politik yang terjadi pada penyusunan produk
perundang-undangan tentang HAM dari setiap rezim/era yang berkuasa, yakni:
1. Sebelum kemerdekaan (1908 – 1945)
Timbulnya kesadaran akan pentingnya pembentukan suatu bangsa
(nation
state). Pada awal masa pergerakan, konsep
HAM yang mengemuka adalah konsep-konsep mengenai hak atas kemerdekaan, dalam
arti hak sebagai bangsa merdeka yang bebas menentukan nasib sendiri (the right of self determination). Pada masa ini juga dibicarakan
HAM bidang Sipil, seperti hak untuk bebas dari diskriminalisasi dalam segala
bentuknya dan hak untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat.[34]
Perkembangan pemikiran tentang HAM dari organisasi seperti
Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia, Serekat Islam, maupun partai politik
seperti, Partai Komunis Indonesia, Indische Partij, Partai Nasional Indonesia,
yang ada dimasa ini mewakili paham yang dianut yaitu kebangsaan dan
nasionalisme, agama dan komunisme.
Faktor politik yang dominan dalam munculnya pergerakan ini,
lebih disebabkan oleh kemenangan Jepang atas Rusia pada peperangan di sekitar
Laut Kuning tahun 1905 yang telah membangkitkan kesadaran bahwa kemampuan
bangsa kulit kuning tidak berada di bawah bangsa kulit putih. Kemenangan Jepang
tersebut mempengaruhi pandangan-pandangan kaum intelektual Hindia Belanda
mengenai kemampuan pribumi untuk melepaskan diri dari penjajah dan akhirnya
memproklamasikan kemerdekaan dengan mendirikan suatu negara kebangsaan (nation state).[35]
1. Orde Lama (1945 – 1966)
Pergolakan politik yang muncul dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan mengenai HAM pada awal kemerdekaan, yakni dalam penyusunan
dasar negara, sistematika UUD, muatan materi, dan lain-lain. Dalam penyusunan
UUD terjadi perdebatan perlu tidaknya pencantuman HAM dalam Rancangan UUD.
Hasil dari rapat BPUPKI menyimpulkan bahwa pemuatan HAM dalam UUD 1945
merupakan hasil kompromi antara pemikiran yang memandang tidak tepat memuat
ketentuan HAM dalam UUD dan pemikiran yang berpendapat bahwa sudah sewajarnya
UUD memuat ketentuan mengenai HAM.[36] Sehingga faktor politik yang dominan dalam pemuatan HAM pada
awal kemerdekan didasarkan pada ideologi antara Soepomo, Soekarno dan Hatta.
Pemikiran HAM pada awal kemerdekaan
sangat kuat mempengaruhi kehidupan tatanegara Indonesia. Terutama dampak dari
adanya tuduhan pihak Belanda beserta sekutu-sekutunya yang menilai Pemerintah
Indonesia yang baru berdiri tidak demokratis, diktator dan merupakan boneka
Jepang sehingga semakin mengentalkan pemikiran tentang HAM.[37]
HAM semakin mendapat posisi pada masa berlakunya Konstitusi
RIS dan UUDS 1950. Hal tersebut ditandai dengan berdirinya partai politik
dengan beragam ideologi, kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi,
berlangsungnya PEMILU 1955, berjalannya fungsi DPR sebagai representasi dengan
melakukan kontrol/pengawasan terhadap eksekutif. Faktor politik yang dominan
ini tidak terlepas dari pengaruh demokrasi liberal/parlementer.
Perjalanan HAM mulai surut sejak dikeluarkannya Dekrit
Presiden 5 Juli 1966 dan penerapan sistem politik demokrasi terpimpin oleh
Presiden Soekarno. Pada era ini, supra struktur politik maupun infra struktur
politik berada dibawah kontrol/kendali dan tindakan represif presiden. Dalam
prespektif pemikiran HAM, terutama hak Sipol, sistem politik demokrasi
terpimpin tidak memberikan keleluasaan terhadap kebebasan berserikat, berkumpul
dan mengeluarkan pikiran dengan tulisan. Pemikiran tentang HAM dihadapkan pada
restriksi atau pembatasan yang ketat oleh kekuasaan, sehingga mengalami
kemunduran sebagai sesuatu yang berbanding terbalik dengan situasi pada masa
Demokrasi Parlementer.[38]
1. Orde Baru (1966 – 1998)
Pergantian rezim orde lama ke rezim orde baru ternyata tidak
membawa dampak besar bagi perkembangan HAM di Indonesia. Meski pada awal orde
baru telah muncul wacana mengenai perlu dibentuknya pengadilan HAM pada tahun
1967. HAM mengalami kemunduran di era orde baru pada masa-masa setelah tahun
1970. Masyarakat Indonesia kembali dihadapkan pada situasi dan keadaan dimana HAM
tidak dihormati, tidak dilindungi bahkan tidak ditegakkan. Hal ini disebabkan
oleh pemikiran para elite kekuasaan terhadap HAM sebagai produk Barat dan
bersifat Individualis. Sehingga prinsip tersebut bertentangan dengan program
pemerintah orde baru yang sedang memacu pembangunan ekonomi dengan menggunakan
slogan pembangunan, yang secara tidak langsung menimbulkan pemikiran bahwa
segala upaya pemajuan dan perlindungan HAM dianggap sebagai penghambat
pembangunan.[39]
Pemerintah bersifat defensif yang tecermin dari berbagai
produk hukum yang dikeluarkan pada orde baru, yang pada umumnya bersifat
restriktif terhadap HAM. Banyaknya peristiwa pembunuhan massal, penangkapan dan
penahanan sewenang-wenang tanpa proses pengadilan terhadap ribuan anggota PKI
dan simpatisannya pada awal pemerintahan orde baru serta masih banyak lagi
pelanggaran HAM baik berat maupun ringan yang dilakukan pada saat berkuasanya
orde baru.
Pemerintahan Soeharto memperkenalkan Demokrasi Pancasila
yang mendasarkan pandangannya mengenai HAM dengan menggunakan konsepsi Negara
Integralistik sebagaimana pernah diungkapkan Soepomo pada masa-masa pembahasan
naskah UUD, yang tampak lebih mengedepankan kewajiban daripada hak.[40]
Sikap pemerintah orde baru yang cendrung represif terhadap
HAM, pada tahun 1993 berubah seiring dengan munculnya berbagai tekanan dari
masyarakat internasional kepada pemerintah. Pengurangan tindakan represif
pemerintah ditandai dengan adanya pembatasan penggunaan UU Subversi, pendirian
Komna HAM (meskipun hanya dengan berdasarkan Keppres), pendirian
lembaga-lembaga pengawas pemilihan umum, namun lembaga pemantauan pemilu adalah
lembaga asing.
Perubahan perilaku dan retorika Pemerintah dalam bidang HAM
mulai tampak terlihat ditandai dengan sikap yang lebih kooperatif dan mulai
diterimanya standar HAM internasional dalam berbagai konprensi internasional
HAM yang diikuti oleh Indonesia. Diakhir masa pemerintahan orde baru, konsep
pemikiran HAM tampaknya mulai bergeser dari partikularisme ke arah
universalisme.[41]
1. Reformasi (1998 – sekarang)
Pada era reformasi ini, telah terjadi pengkajian ulang
terhadap kebijakan-kebijakan serta pengaturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan HAM. Pemerintah telah menerima norma-norma internasional, baik melalui
ratifikasi maupun institusionalisasi norma-norma HAM internasional ke dalam
sistem hukum nasional. Telah tumbuhnya pemahaman dan kesadaran bahwa
sesungguhnya HAM sebagai hak dasar yang ada pada setiap manusia bukanlah
sesuatu hal yang baru, serta tumbuhnya keinsyafan bahwa HAM merupakan suatu
tuntutan yang berhak dituntut diperjuangkan dan dipertahankan untuk dijamin,
dilindungi dan dihormati.[42]
Pelaksanaan asas demokrasi yang baik dalam era reformasi ini
membawa pengaruh besar bagi perkembangan HAM di Indonesia. Demokrasi yang
berintikan kebebasan dan persamaan sering dikaitkan dengan berbagai unsur dan
mekanisme. Demikian pula paham negara berdasarkan atas hukum. Salah satu ciri
unsur itu adalah jaminan perlindungan dan penghormatan terhadap HAM. Jaminan,
perlindungan dan penghormatan HAM tidak mungkin tumbuh dan hidup secara wajar
apabila tidak ada demokrasi dan tidak terlaksananya prinsip-prinsip negara
berdasarkan atas hukum. Sehingga hubungan antara HAM, demokrasi, dan
prinsip-prinsip negara berdasarkan atas hukum harus dilihat dalam hubungan
keseimbangan yang simbiosis mutualistik.[43]
BAB III
PENUTUP
1. A. Kesimpulan
Berdasarkan pokok permasalahan, maka
penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa:
1.
Eksistensi HAM dalam Sistem Hukum di
Indonesia telah ada sejak awal kemerdekaan yang dibuktikan dengan pencantuan muatan
HAM dalam Pembukaan UUD 1945 dan Batang Tubuh UUD 1945 (meskipun secara
implisit/tersirat). Eksistensi HAM baru mendapat tempat yang luas sejak
turunnya orde baru dan berganti pada era reformasi. Eksistensi HAM dalam era
reformasi telah tercantum secara eksplisit/tersurat dalam UUD 1945 Amandemen
Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J. Disamping tertuang dalam konstitusi, HAM
juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
serta Peraturan perundang-undangan lainya yang didalamnya memuat ketentuan yang
berkaitan dengan HAM, baik secara eksplisit maupun implisit. HAM pada era
reformasi digunakan sebagai dasar bagi tindakan aparat penegak hukum maupun aparatur
negara dalam malayani masyarakat.
2.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
Eksistensi Hak Asasi Manusia dalam Sistem Hukum di Indonesia, adalah sosial
budaya, tendensi politik dan berbagai kepentingan individu serta kelompok yang
terlalu dominan dalam terciptanya HAM di Indonesia. Dari beberapa faktor
tersebut tendensi politik rezim yang berkuasa menempati posisi yang penting.
Tendensi politik sangat menentukan pengakuan HAM yang diwujudkan dalam
peraturan perundang-undangan dan pelaksanaan dilapangan. Tendensi politik
penguasa yang diformulasikan sedemikian rupa sehingga menjadi kehendak negara.
Apabila sudah menjadi kehendak negara maka akan dengan mudah penguasa melalui
kekuasaan yang dimilikinya membelokan kepentingan masyarakat dan
menggantikannya dengan kepentingan penguasa.
3. B. Saran
1.
Perlu adanya peningkatan kesadaran,
wawasan, moral dari aparat penegak hukum, aparatur pemerintah dan warga negara
terhadap HAM sehingga akan meminimalisir pelanggaran HAM di Indonesia.
2.
Perlu adanya pengawasan yang ketat
dari semua pihak terhadap iklim demokratis dan penegakan hukum oleh penguasa
agar terjaminnya HAM warga negara.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Achmad Ali, 2005, Keterpurukan Hukum di
Indonesia Penyebab dan Solusinya,
Cetakan Kedua, Ghalia Indonesia, Ciawi-Bogor.
Bagir Manan, 2006, Perkembangan Pemikiran dan
Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Alumni, Bandung.
Imam Syaukani, A. Ahsin Thohari,
2008, Dasar-dasar
Politik Hukum, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Muladi, 2005, Hak Asasi Manusia Hakekat,
Konsep dan Implikasi dalam Prespektif Hukum dan Masyarakat, PT. Refika Aditama, Bandung.
Mansyhur Effendi, 2005, Perkembangan Dimensi Hak
Asasi Manusia (HAM) dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia
(HAKHAM), Ghalia Indonesia, Bogor Selatan.
Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Cetakan ke V, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Satya Arinanto, 2005, Hak Asasi Manusia dalam
Transisi Politik di Indonesia,
Cet. II, Pusat Studi Hukum Tata Negara , Jakarta.
______, 2008, Hak Asasi Manusia dalam
Transisi Politik Di Indonesia,
Cetakan ke III, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta.
Scott Davidson, 1994, Hak Asasi Manusia Sejarah,
Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional, Terjemahan, Pustaka Utama Grafiti,
Jakarta.
Sukamto Satoto, 2004, Pengaturan Eksistensi dan
Fungsi Badan Kepegawaian Negara,
Offset, Yogyakarta.
Makalah
Bagir Manan, Aktualisasi Hak Asasi
Manusia di Indonesia, Makalah dipresentasikan pada
Diskusi Panel “Menyongsong Abad 21 sebagai Abad Hak Asasi Manusia”, diselenggarakan
oleh Paguyuban Hak Asasi Manusia (PAHAM) FH Unpad, Pusat Penelitian
Perkembangan Hukum (Puslitbangkum) Lembaga penelitian Unpad, 12 Desember 1998.
Hartati, 2010, Bahan Kuliah Hukum Hak
Asasi Manusia, Universitas Jambi Program
Pascasarjana Program Magister Ilimu Hukum, Jambi.
Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia (MPR RI), Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Hasil Sidang Istimewa Tahun 1998, Sekretaris Jenderal MPR RI,
Jakarta.
Raimond F. Lamandasa, 2007, Pentingnya Supremasi Hukum
dalam Rangka Peningkatan Perlindungan HAM, Artikel, http://www.morowali.com.
[1] Satya Arinanto, 2005, Hak Asasi Manusia dalam
Transisi Politik di Indonesia,
Cet. II, Pusat Studi Hukum Tata Negara , Jakarta, hal. 2.
[2] Muladi, 2005, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasi
dalam Prespektif Hukum dan Masyarakat,
PT. Refika Aditama, Bandung, hal.,6.
[3] Bagir Manan, 2006, Perkembangan Pemikiran dan
Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Alumni, Bandung, hal., 2.
[4] Achmad Ali, 2005, Keterpurukan Hukum di
Indonesia Penyebab dan Solusinya,
Cetakan Kedua, Ghalia Indonesia, Ciawi-Bogor, hal. 1.
[5] Sukamto Satoto, 2004, Pengaturan Eksistensi dan
Fungsi Badan Kepegawaian Negara,
Offset, Yogyakarta, Hal., 4.
[6] Sjachran Basah dalam Sukamto Satoto, Ibid.
[7] Scott Davidson, 1994, Hak Asasi Manusia Sejarah,
Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional, Terjemahan, Pustaka Utama Grafiti,
Jakarta, Hal., 32.
[8] Shorde dan Voich dalam Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Cetakan ke V, Citra Aditya Bakti,
Bandung, Hal., 48.
[9] Ibid.
[10] Ibid., Hal., 50.
[11] Hartati, 2010, Bahan Kuliah Hukum Hak
Asasi Manusia, Universitas Jambi Program
Pascasarjana Program Magister Ilimu Hukum, Jambi, hal., 4.
[12] Muladi, Op.Cit,
hal., 3.
[13] Ibid, hal., 4.
[14] Ibid., hal., 4.
[15] Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), Ketetapan-ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Hasil Sidang Istimewa Tahun 1998, Sekretaris Jenderal MPR RI,
Jakarta, hal., 81-96.
[16] Satya Arinanto, 2008, Hak Asasi Manusia dalam
Transisi Politik Di Indonesia,
Cetakan ke III, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta, Hal., 15.
[17] Ibid.
[18] Ibid., Hal., 16.
[19] Ibid.
[20] Ibid., Hal., 18.
[21] Ibid., Hal., 19.
[22] Mansyhur Effendi, 2005, Perkembangan Dimensi Hak
Asasi Manusia (HAM) dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia
(HAKHAM), Ghalia Indonesia, Bogor Selatan,
hal., 127.
[23] Achmad Ali, Loc.Cit
[24] Ibid, hal. 2.
[25] Imam Syaukani, A. Ahsin Thohari, 2008, Dasar-dasar Politik Hukum, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta,
hal. 72.
[26] Mansyhur Effendi, Op.Cit., hal., 133.
[27] Hartati, Kuliah Hukum Hak Asasi Manusia, Senin tanggal 12 April 2010,
Universitas Jambi Program Pascasarjana Program Magister Ilimu Hukum, Jambi.
[28] Achmad Ali, Op.Cit.,
hal. 1.
[29] Raimond F. Lamandasa, 2007, Pentingnya Supremasi Hukum
dalam Rangka Peningkatan Perlindungan HAM, Artikel, http://www.morowali.com.
[30] Achmad Ali, Op Cit,
hal. 2.
[31] Mansyhur Effendi, Op.Cit., hal., 129.
[32] Ibid.
[33] Imam Syaukani, A. Ahsin Thohari, Op.Cit., Hal., 81.
[34] Bagir Manan, Op.Cit.,
Hal.,222.
[35] Ibid., Hal., 6.
[36] Ibid., Hal., 22.
[37] Ibid., Hal., 29.
[38] Ibid., Hal., 40.
[39] Ibid., Hal., 41.
[40] Ibid., Hal., 49.
[41] Ibid., Hal., 53-54.
[42] Bagir Manan, Aktualisasi Hak Asasi Manusia di Indonesia, Makalah dipresentasikan pada
Diskusi Panel “Menyongsong Abad 21 sebagai Abad Hak Asasi Manusia”,
diselenggarakan oleh Paguyuban Hak Asasi Manusia (PAHAM) FH Unpad, Pusat
Penelitian Perkembangan Hukum (Puslitbangkum) Lembaga penelitian Unpad, 12
Desember 1998, Hal., 1.
[43] Ibid., Hal., 59.
http://cahwaras.wordpress.com/2010/05/19/eksistensi-ham-dalam-sistem-hukum-di-indonesia/
0 komentar:
Posting Komentar